CERPEN INI DIMUAT DI MAJALAH KOMUNIKASI EDISI JUNI 2013
Aku duduk di sebuah batu besar di depan Gua Maria dan kembali kulepaskan kalung Rosario itu dari leherku. Sesosok pria bermata hitam legam dan bertubuh kekar itu muncul kembali. Hari ini adalah hari ketiga aku bertemu dengannya di tempat ini.
Sepasang suami istri muda dan kedua anaknya yang masih balita datang lalu duduk di sebelahku. Suaminya mengajarkan anaknya membuat Tanda Salib dan mulai berdoa. Aku setengah iri melihat kemesraan keluarga kecil itu. Aku dirawat di panti asuhan sejak aku bayi sehingga aku tak pemah merasakan kasih sayang dari orang tuaku. Bahkan melihat wajah mereka pun aku tak pernah.
Tak lama kemudian keluarga kecil itu terdengar meninggalkan Gua Maria. Aku mulai menangis terisak-isak merindukan orang tuaku sambil tetap memejamkan mataku. Tiba-tiba pria itu sudah ada di sampingku dan menepuk-nepuk bahuku dengan lembut. Aku lupa ada orang lain selain diriku di tempat ini. Kubuka mataku sambil menghapus air mataku dengan malu. “Ada apa, dik? Ada yang bisa kubantu?” tanyanya dengan nada lembut. Aku menggeleng lemah sambil menjawab, ”Tak ada apa-apa, kak,” “Boleh aku berdoa bersamamu?” tanyanya lagi. Lalu kami mendaraskan Doa Salam Maria bersama-sama sampai peristiwa terakhir. Setelah selesai dia mengajakku berkenalan. Dan tak lama kemudian aku pamit hendak melakukan rutinitasku untuk mengurus opa oma di panti jompo samping gereja.
***
Hari ini memasuki masa Prapaskah. Aku sudah menerima abu tanda tobat pada dahiku sebagai sebuah simbol dari penyesalan atas dosa-dosaku pada misa jam enam pagi tadi. Perutku sudah keroncongan minta diisi. Kukuatkan diriku untuk tidak terlalu memperdulikan perutku yang sudah berteriak-teriak minta diisi. Aku memakluminya ini puasa hari pertama, besok-besok pasti aku akan terbiasa dengan keadaan perutku yang kelaparan seperti ini.
Kembali kuberdoa di Gua Maria. Kak Raymond datang lalu mengambil tempat duduk tepat di sebelahku seperti kemarin. Dia mengeluarkan sebuah rosario dari batu kristal yang berkilau-kilauan. Aku masih terpesona melihat kalung rosario miliknya yang begitu indah. Dia mengetahui kekagumanku, sedetik kemudian dia menyerahkan rosario itu padaku. Kami mulai mendaraskan Doa Salam Maria bersama-sama. Aku benar-benar bersukacita. Kugenggam rosario kristal itu erat-erat seolah-olah benda itu sudah menjadi milikku. “Terimakasih kak, sudah meminjamkan rosario ini padaku,” kataku seraya menyerahkan kalung rosario kristal itu ke tangannya setelah kami selesai berdoa. “Simpan saja, Magda, rosario itu untukmu,” jawabnya cepat. “Be… be … benar, kak?” tanyaku tak percaya. “Aku masih punya banyak, untukmu saja,” jawabnya dengan senyum manisnya. Aku masih melongo tak percaya. Tak pernah dalam hidupku ada seseorang yang memberikan benda yang sangat indah kepadaku. Selama ini benda yang seringkali kudapatkan adalah baju-baju dan sepatu bekas peninggalan orang-orang yang berbaik hati menyumbangkannya pada panti asuhan kami. Pengalaman barusan benar-benar mendebarkanku. Aku senang bukan kepalang.
***
Malam-malam terasa begitu sunyi. Sebelum tidur aku hanya dapat menggenggam kalung rosario kristal itu erat-erat dan berharap agar hari cepat berganti esok. Berharap aku dapat bertemu lagi dengannya. Melihat senyum manisnya, tatapan matanya yang lembut dan meneduhkanku. Aku sungguh merindukannya. Hari-hariku terasa begitu panjang dan membosankan. Tak jarang aku hanya dapat menangis berharap dapat bertemu kembali dengannya. Dialah harapanku. Dialah orang yang sudah memberiku kebahagian walaupun hanya sesaat saja. Tapi kemanakah perginya dirinya aku tak pernah lagi bertemu dengannya.
***
Setahun telah berlalu. Masih sama seperti setahun yang lalu. Setiap hari aku menghampiri Gua Maria di samping gereja. Setelah duduk, kulepaskan kalung kristal yang masih berkilat-kilat itu dari leherku. Tiba-tiba, muncullah pria berjubah putih tepat di hadapanku. Sosok yang selama setahun ini kurindukan. Aku terperangah kaget. Mulutku tergangga menatap kehadirannya yang bagaikan mimpi indah buatku.
“Hai, Magda, apa kabar?” tanyanya seraya memberikan senyum yang amat manis padaku. Aku membalas uluran tangannya. Tenggorokanku kering tak ada satu suara pun yang mampu kuucapkan sekarang. “Selamat Paskah, Magda,” lanjutnya lagi. “Kau baik-baik saja, Magda?” tanyanya lagi. Lidahku masih terasa kelu, masih tak mampu menjawab pertanyaannya. “Aku baru kembali dari Kalimantan, tahun lalu aku sedang bertandang selama seminggu di sini,” katanya seperti mengetahui jalan pikiranku.
“Romo Raymond, ada tamu di pastoran,” sebuah suara pria terdengar dari arah samping kami. “Baiklah, aku tinggal dulu, Magda, teruslah bertekun dalam doa,” ujarnya sambil memandangi rosario kristal pemberiannya dalam genggaman tanganku dengan mata yang berbinar penuh. Setelah itu ia berjalan meninggalkanku mengikuti pria pengurus biara yang memanggilnya barusan.
Mataku nanar. Kepalaku pusing. Setahun kumenanti dengan penuh kesetiaan. Namun sekarang hancur sudah harapanku. Kak Raymond ternyata adalah seorang romo. Aku tak mungkin menyaingiMu, Tuhan. Teriakku dalam hati. Air mataku bercucuran tak tertahankan. Tangisku terasa sangat pedih sampai tak ada suara tangis yang terdengar barang sedikit pun.
Perlahan-lahan kucoba mengangkat kepalaku yang masih berat. Kupandangi perempuan berkerudung biru yang berada dalam gua. Dia seperti sedang tersenyum padaku. Senyumnya teramat manis. Sebuah senyum yang luar biasa indah itu perlahan-lahan memberikan kehangatan dalam hatiku. Aku memang tak mungkin memilikinya, namun aku tahu pasti bahwa Kau akan selalu menjadi milikku, Bunda.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbys9XnqIMkBlknfvznhqpDDt_OY7o_Js3twLGqlYCmnGvfkE4VdF_6b37g8LVpPpONPgq6ly3JoGjEL6TsNuk1bNID7nNz5QfdhKvjfIzcPg0UZDK68aiOJO5s8bqzGF1nWujI5h1wsc/s320/IMG_7825.jpg)
Komentar
Posting Komentar