CERPEN : JUBAH PUTIH



Sinar matahari terasa hangat menerpa kulitnya. Patricia berjalan sambil menggandeng Daniel, anak semata wayangnya memasuki gereja St. Gabriel. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 08.55 wib. Lima menit lagi misa kedua di hari Minggu yang cerah akan segera dimulai.


Syukurlah masih ada tempat yang tersisa di bangku barisan ketiga dari depan. Daniel sudah berpesan sejak minggu lalu. Dia ingin menempati tempat duduk di barisan depan karena ingin melihat secara jelas pastur yang akan memimpin misa.

Pukul 09.00 tepat lagu “Hai Mahluk Semua” dari Puji Syukur menggema dengan indahnya dinyanyikan oleh paduan suara OMK. Pastur Damian naik ke altar lalu membungkuk mencium altar dengan hikmat. Menyaksikan ritual itu Daniel langsung teriak “Wow, cool man!” Cepat-cepat Patricia mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya menegur Daniel agar tak berisik sehingga dapat menganggu umat yang lain.

Pastur Damian kemudian menyapa seluruh umat dengan ucapan selamat pagi. Daniel dengan lantang menjawabnya dengan berteriak ”Selamat Pagi, Pastur!” Patricia spontan melotot pada anaknya. Seorang ibu setengah baya yang duduk di samping Daniel tersenyum maklum melihat ulah Daniel. “Sssttt, jangan terlalu ribut Daniel nanti umat lain terganggu!” bisik Patricia cepat ke telinga anaknya yang baru berumur delapan tahun. “Nggak apa-apa dong, Ma. Betul kan Pasturnya ngucapin salam, ya aku balas salamnya,” jawabnya sambil nyengir.

Selama Pastur Damian menyampaikan kotbah, mata bulatnya menatap wajah pemuka agama itu tanpa berkedip. Selesai lagu penutup Patricia masih menyampaikan doa pribadi sebagai ucapan syukur setelah mengikuti perayaan ekaristi. Namun tangan mungil Daniel sudah menarik-narik lengannya meminta dirinya untuk cepat-cepat keluar dari gereja. “Ayo, Mam, doanya jangan lama-lama nanti Pasturnya keburu pergi,” katanya cepat. Patricia menurut cepat-cepat dia berdiri dari duduknya lalu mengambil air suci pada pilar putih di pintu masuk dan segera mengejar Daniel yang sudah lebih dulu sampai di hadapan Pastur Damian. Wajah Daniel terlihat bersinar cerah menatap wajah Pastur Damian dari dekat.

“Mam, aku boleh pegang roknya pastur nggak?” tanya Daniel ragu-ragu berbisik ke telinga wanita berambut sebatas telinga itu. “Ini bukan rok Daniel, ini jubah,” jelas Patricia sambil tersenyum geli menahan tawa. Pastur Damian langsung menarik lengan Daniel dan menempatkannya di bagian samping jubahnya. Dengan takut-takut Daniel mengelus jubah putih itu. “Bagus ya, Ma,” teriaknya polos. Patricia mengangguk sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian Daniel sudah berani memegang dengan kencang jubah itu dan tanpa ragu-ragu didekatkan wajahnya pada jubah itu. Sampai seluruh wajahnya terbenam ke dalam jubah putih itu. “Daniel jangan, nanti jubahnya kotor!” cegah Patricia setengah berteriak. “Tak mengapa, Bu,” potong Pastur Damian dengan sabar sambil tersenyum maklum.


Satu menit lamanya Daniel menenggelamkan wajahnya di jubah polos itu. Perlahan-lahan bocah itu mengangkat wajahnya, ”Mam, kalau sudah besar nanti aku mau jadi Pastur, ya!” teriaknya bersemangat diiringi dengan senyum lebar yang menghiasi bibirnya. Mendadak mata Patricia berkaca-kaca mendengar keinginan Daniel yang tak pernah diduga-duganya. “Mudah-mudahan keinginanmu didengar oleh-Nya, Nak,” jawab Patricia sambil mengelus kepala anaknya. 

 

cerpen ini sudah dimuat di Majalah Gandawarta 2014

Komentar